Bisakah Kartu Prakerja menjadi Solusi di tengah Badai Covid-19
Cari Berita

Iklan 970x90px

Bisakah Kartu Prakerja menjadi Solusi di tengah Badai Covid-19

Sabtu, 25 April 2020



(IRWAN : Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis sekaligus Sebagai Ketua BEM Unram 2020)
Mataram, Peloporntb.com - andemi virus Covid-19 menjadi persoalan yang semakin serius, dampaknya cukup mempengaruhi berbagai sector: Pendidikan, pariwisata sampai ke sector perekeonomian. Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan perekonomian yang terkena dampak serius dari adanya virus ini. Saat ini perusahaan banyak yang menutup pabrik-pabrik dan melakukan rasionalisasi karyawan sebagai akibat dari permintaan (demand) yang rendah dan seruan untuk melakukan physical distancing. Lebih dari 1,2 juta pekerja yang berasal dari 74.439 perusahaan baik di sektor formal dan informal telah diminta untuk work from home atau diberhentikan sebagai akibat dari pandemi menurut Kementrian Ketenagakerjaan Republik Indonesia per 7 April 2020 (Iswara, 2020).
Lonjakan jumlah pengangguran juga diperkirakan Center of Reform on Economics (CORE) akan bertambah pada kuartal II 2020 mencapai 4,25 juta orang. Angka tersebut merupakan proyeksi yang dibuat CORE berdasarkan skenario ringan dampak pandemi corona. Sementara pada skenario sedang akan terdapat tambahan 6,68 juta orang yang menganggur, sedangkan pada skenario berat sebanyak 9,35 juta orang (Victoria, 2020).
Menurut CORE, dampak pandemi Covid-19 terhadap hilangnya mata pencaharian di sektor informal perlu lebih diwaspadai. Hal ini disebabkan daya tahan ekonomi para pekerja di sektor informal relatif rapuh, terutama yang bergantung pada penghasilan harian, mobilitas orang, dan aktivitas orang-orang yang bekerja di sektor formal. Lebih jauh, jumlah pekerja di sektor informal di Indonesia lebih besar dibanding pekerja sektor formal, yakni mencapai 71,7 juta orang atau 56,7 persen dari total jumlah tenaga kerja dengan mayoritas bekerja pada usaha skala mikro (Makki, 2020).

Ditengah kondisi ketenagakerjaan yang hari ini semakin rumit, muncul sebuah kebijakan dari pemerintah yang bisa dikatakan memicu banyak kontroversi, yaitu Kartu Prakerja. Sehari setelah program ini diluncurkan, 1,4 juta orang mengajukan tunjangan senilai total Rp3,5 juta yang akan diberikan selama empat bulan dalam tahap pendaftaran pertama. Dengan anggaran sebesar Rp20 triliun, program ini akan mencakup 5,6 juta peserta berusia 18 tahun atau lebih yang tidak sedang menempuh pendidikan tinggi, terutama mereka yang belum menerima bantuan sosial (Rahman, 2020).

Bagi pendaftar Kartu Prakerja 2020 yang dinyatakan lolos seleksi, pemerintah memberikan dana sebesar Rp3.550.000 yang dialokasikan untuk membayar biaya pelatihan (kursus online) dan insentif bagi pesertanya. Untuk bisa mengikuti pelatihan secara daring, peserta harus melunasi biaya pelatihan atau kursus yang dipilih. Dana tersebut akan ditransfer lewat rekening atau dompet digital (e-wallet). Adapun pagu untuk membayar pelatihan ditetapkan sebesar Rp1.000.000,00 (Idris, 2020).

Namun, muncul berbagai polemik dari rilisnya program tersebut di tengah pandemi Covid-19. Diantaranay;
Pertama; Pada sisi supply, terdapat beberapa kejanggalan yang muncul. Dimana alokasi pemberian Rp5,6 triliun dana bantuan yang diberikan pemerintah untuk 5,6 juta peserta penerima manfaat program Kartu Prakerja akan mengalir ke kantong-kantong lembaga pelatihan yang menjadi mitra pemerintah dalam pembekalan peserta secara daring (Idris, 2020).
 Kedua; variasi pelatihan yang ditawarkanpun  dinilai tidak tepat dengan kebutuhan angkatan kerja. Bahkan, beberapa kelas pelatihan juga dibandrol dengan tarif yang cukup tinggi. Padahal, pada era digital ini, akses terhadap pelatihan atau informasi yang bersifat basic skill telah mudah diakses secara gratis melalui beberapa platform seperti Youtube atau LinkedIn.

Hal ini tentu menjadi suatu paradoks di tengah kebijakan realokasi anggaran yang dilakukan pemerintah dalam rangka mengupayakan adanya efisiensi di tengah pandemi. Estimasi nilai sebesar Rp5,6 triliun yang mengalir ke pihak perusahaan mitra pemerintah tersebut tentu akan lebih bijak apabila dialokasikan ke dalam pos lain yang lebih krusial, seperti jaring pengaman sosial yang diwujudkan dalam bentuk cash transfer atau in-kind incentives kepada masyarakat untuk memperkuat daya beli dan mengompensasi pendapatan yang hilang akibat rasionalisasi pekerja yang terjadi di banyak perusaahaan. Dalam perspektif mikro ekonomi misalnya, tentu kebijakan ini dapat meningkatkan utiltas masyarakat dalam mengonsumsi barang, khususnya kebutuhan sehari-hari.

Selain itu, yang banyak memicu kontroversi dari program Kartu Prakerja ini diakibatkan dari adanya intransparansi pemilihan mitra pemerintah dalam penyelenggaraan pelatihan kerja. Proses pemilihan delapan provider yang menjadi platform mitra Kartu Prakerja itu menjadi salah satu kritik keras yang diterima pemerintah. Dimana tujuh dari delapan mitra merupakan startup, yaitu Tokopedia, Ruangguru melalui Skill Academy, Mau Belajar Apa, Bukalapak, Pintaria, Pijar Mahir, dan Sekolahmu, sedangkan satu platform lainnya adalah Sisnaker dari Kemenaker.
Namun demikian, sangat disayangkan mekanisme pemilihan startup mitra Kartu Prakerja dinilai publik tidak terbuka perihal waktu dan prosesnya (Perdana, 2020). Belum lagi, empat dari delapan perusahaan yang ditunjuk tercatat sebagai Perusahaan Modal Asing alias PMA. Hal ini diperparah dengan adanya Pasa 27 Perppu No. 1 Tahun 2020 yang membuat pemerintah kebal dari tuntutan hukum dalam penggunaan uang negara untuk penanganan pandemic Covid-19 karena tidak boleh digugat ke pengadilan (Adam, 2020). Oleh karenanya wajar apabila Kartu Prakerja mendorong munculnya
ketidakpercayaan publik ( public distrust)  mengingat pihak-pihak yang menjadi mitra ditunjuk secara intransparan tersebut akan menerima banyak kucuran dana dari alokasi anggaran dari program tersebut.

Pelatihan pekerjaan secara teoritis dinilai sebagai solusi atas terjadinya pengangguran friksional pada suatu wilayah. Namun, dengan melihat fenomena kondisi pandemi Covid-19, tentu adanya peningkatan pengangguran secara massal, itu bukan disebabkan oleh faktor ketidakcocokan (mismatch)  antara supply dan demand pada pasar tenaga kerja, melainkan konsekuensi logis dari adanya penurunan permintaan dari masyarakat itu sendiri. Maka, dengan adanya pelatihan dengan menyerap banyak dana yang seharusnya dikelola secara lebih efisien di tengah masa pandemi Covid-19, kebijakan ini justru menimbulkan banyak pertanyaan dan polemik pada masyarakat awam, sehingga prpgram ini tidak tepat sasaran untuk mengatasi persoalan masyarakat akibat Civid-19. Selain itu, sudah saatnya pemerintah perlu lebih berhati-hati lagi dalam mengambil kebijakan untuk mencegah stigma masyarakat yang kian meningkat di tengah masa sulit seperti ini.
Dan sudah seharusnya pemerintah untuk mengevaluasi kembali pelaksanaan program Kartu Prakerja. Dimana anggaran yang digunakan untuk melaksanakan program ini bisa di alokasi  ke program bantuan langsung untuk masyarakat atau Bantau Langsung Tuanai (BLT). Karena pada saat ini gelombang PHK akibat corona terjadi cukup tinggi. Meminjam pendapat dari KC Wheare mengenai kebijakan yang paling tepat yang akan diambil pemerintah adalah resultante yaitu kebijakan yang diambil pemerintah melihat kondisi sosial, politik dan ekonomi yang sedang terjadi pada saat ini.
dari segi sosial hampir seluruh masyarakat mengalami ketakutan yang sangat tinggi, namun melihat kondisi Indonesia yang mempunyai multi etnis, ras dan kebudayaan membuat kondisi di masyarakat beraktivitas seperti biasanya. kondisi yang seperti ini membuat masyarakat tidak bisa di teken untuk terus dirumah.
jika pemerintah terus menekan untuk tetap dilaksanakan pyisical distancing maka, harus memberikan terobosan yang bisa membantu mereka baik secara keamanan, ketahanan dan ekonomi.
seperti yang diungkapkan diatas tadi, kartu pra kerja ini tidak bisa menjadi solusi bagi masyarakat, karena tidak bisa diberikan pangan secara lngsung. walaupun diberikan pelatihan, itu tidak cukup. karena pada saat pandemic ini mereka harus tetap dirumah bukan untuk berkumpul, seperti halnya DPR yang berkumpul untuk satu tujuan yaitu, mengesahkan Omnibus Law. (PB-01)