Umat Butuh Solusi Tuntas
Cari Berita

Iklan 970x90px

Umat Butuh Solusi Tuntas

Sabtu, 08 Agustus 2020



Oleh : Eli Marlinda, S.Pd.i

Masih ingat rasanya awal tahun 2020,  dimana para petani yang berada di kabupaten Bima NTB kesulitan mendapatkan pupuk 7
sesuai dengan harga HET bahkan harus membeli dalam bentuk paketan di setiap pengecer. Setelah didemo oleh berbagai elemen masyarakat barulah pemerintah daerah turun tangan untuk menertibkan penjualan pupuk mulai dari distributor sampai ke pengecer.

Nampaknya aksi-aksi demonstrasi tetap berlanjut sampai sekarang, seperti yang digelar Front Rakyat Merdeka (FRD) di depan Kantor Bupati Bima, Senin (27/7) berakhir ricuh. Akibatnya seorang demonstran tertembak di bagian dada. Koordinator aksi Imam Hidayat mengatakan demonstrasi ini terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Sumber Mineral Nusantara segera dicabut. Sesuai dengan amanat Peraturan pemerintah No.23 tahun 2010 menghentikan perampasan lahan di setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Bima. Imam Hidayat juga menuntut agar Pemerintah Daerah menghadirkan mobil sampah dan Damkar di setiap kecamatan, serta perbaikan Infrastruktur jalan raya, lampu jalan dan drainase (Kahaba.com, 27/07/2020)
Apakah Pemerintah sekarang ini tidak bosan dengan aksi demonstrasi? Agar bisa memperhatikan kepentingan dan nasib rakyatnya. Ataukah ada masalah lain yang membuat seolah-olah pemerintah abai terhadap rakyatnya? Dan rasa kepedulian itu hadir ketika masa-masa kampaye saja.

Demokrasi Biang Masalah

Setiap lima tahun sekali di tingkat daerah sudah menjadi rutinitas kita memilih Kepala Daerah dan wakilnya. Sesuai dengan harapan demokrasi agar kepemimpinan itu tidak bertumpu pada satu orang yang akan melahirkan kediktatoran, Korupsi, dan mencegah sistem dinasti. Maka rakyat diberikan hak untuk menentukan pemimpinnya sendiri (baca: rakyat berdaulat).

Namun harapan rakyat yang diberikan sistem politik demokrasi tidak semulus dan sesuai dengan realitasnya. Kediktatoran di tingkat daerah maupun pusat tetap terjadi dengan dalil UU ITE memberangus setiap orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah dan lucunya di saat yang sama ketika nampak kubu yang pro terhadap rezim sudah melewati batas bahkan melecahkan ajaran agama, mereka seolah-olah tidak tersentuh oleh hukum.

Kasus korupsi jangan ditanya lagi, seolah-olah sudah mendarah daging di negeri ini. Bahkan sekarang korupsi bukan lagi untuk kepentingan individu semata tapi sudah berubah menjadi korupsi berjamaah yang melibatkan korporasi (swasta) dan elit politik.

Begitu juga Jalur Dinasti (Keturunan) biasanya melekat  pada sistem kerajaan, namun itu sudah tidak berlaku lagi. Pengaruh penggunaan “kekuasaan” itu sangat terasa,  ada yang istri menjadi Kepala Daerah, giliran suami menjadi Anggota Dewan.

Pernahkan kita berpikir, kenapa ini semua bisa terjadi? karena sistem politik demokrasi memberikan ruang untuk itu semua. Demokrasi itu berasal dari Ideologi yang bernama Kapitalisme, Aqidahnya (asas) adalah Sekulerisme (pemisahan agama dengan kehidupan) sedangkan politiknya adalah demokrasi.

Jadi jangan heran kalau terjadinya swastanisasi di berbagai sektor terutama di sektor mineral dan pertambangan. Karena dari awal kapitalisme menganggap bahwa Negara hanya berfungsi sebagai penyedia regulasi saja, sedangkan pengelolaannya diberikan kepada swasta baik secara pribadi maupun koorporasi. Sehingga harapan swasta berbondong-bondong mengelola aset strategis negara bisa membuka lapangan kerja, tapi yang terjadi lapangan kerja bukan untuk kita tapi untuk asing. Yang lebih parah adalah perusakan ekosistem sudah terjadi dimana-mana, Sulawesi tenggara menjadi saksi bisu baru-baru ini. Pembukaan lahan sawit besar-besaran oleh koorporasi menjadi penyebab terjadinya banjir bandang, padahal sekarang saat musim kemarau.

  Begitupun dengan jabatan mulai dari Kepala Daerah sampai Presiden, laki-laki dan perempuan dianggap setara dan sama. Bekas Napi juga mempunyai hak untuk mencalonkan diri sebagai anggota dewan. Yang lebih miris lagi adalah orang gila dan orang waras di anggap sama dalam demokrasi, sama-sama mempunyai hak untuk memilih. Kalau sudah begini masihkah kita berharap pada sistem demokrasi kapitalis?

Harapan ada di Sistem Islam

  Syariat Islam bukan sekedar akan menyeleksi individu pemimpin yang Adil dan akhlaknya teruji. Tetapi lebih dari itu, ada konsep mendasar yang menjadikan Sistem Islam berbeda dengan Sistem Demokrasi. Dimana demokrasi menjadikan kedaulatan di tangan rakyat (manusia) artinya manusia bukan hanya sekedar nyoblos pemimpin tetapi membuat aturan yang diwakili anggota legislatif, benar dan salah merekalah yang menentukan.

  Sedangkan Sistem Islam menjadikan kedaulatan ada di tangan at-tasri’ (Pembuat Hukum) Allah SWT yang walaupun secara teknis posisi rakyat sebagai pemilik kekuasaan untuk memilih pemimpin. Sehingga tugas Kepala Negara dan Kepala Daerah hanya menjalankan aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW.

  Dalam hal mengatur pengaturan kepemilikan yang berimbas pada kesejahteraan rakyat. Islam dengan jelas mendudukkan konsep yang tepat tentang kepemilikan (al-milkiyah).
Seperti yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab, An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Syaikh Abdul Qadim Zallum kemudian memaparkannya secara lebih sistematis dalam kitabnya, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah. Dipaparkan bahwa Islam membagi konsep kepemilikan secara jelas: kepemilikan individu (private property); kepemilikan publik (collective property); dan kepemilikan negara (state property).

  Kepemilikan publik adalah seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum Muslim sehingga kekayaan tersebut menjadi milik bersama kaum Muslim. Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun terlarang memilikinya secara pribadi. Ada tiga jenis kepemilikan publik:
(1) Sarana umum yang diperlukan oleh seluruh warga negara untuk keperluan sehari-hari seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energi, pembangkit listrik dll.
(2) Kekayaan yang asalnya terlarang bagi individu untuk memilikinya seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid dll.
(3) Barang tambang (sumberdaya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat (seperti emas atau besi), cair (seperti minyak bumi), atau gas (seperti gas alam).
  Rasulullah SAW. bersabda:
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang, air dan api. (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).

  Walaupun akses terhadapnya terbuka bagi kaum Muslim, tapi Negaralah yang mengelolanya dalam rangka mendistribusikan harta tersebut kepada kaum Muslim demi kemaslahatan seluruh rakyat. Sehingga dengan kejelasan konsep kepemilikan seperti ini maka dari awal tidak diberikan ruang untuk didiskusikan apalagi menyerahkan pengelolaannya kepada individu atau swasta. Dan rakyatpun tenang tidak akan ada yang demonstrasi lagi terhadap swastanisasi berbagai sektor karena sistem yang  digunakan adalah sistem Islam. Tapi sayangnya kita masih berharap pada demokrasi palsu? Wallahu a’lam bi ash-shawab. (TIM)