Dakwaan JPU Cacat Secara Yuridis formil, Terdakwa Eks Walikota Bima Berpotensi Bebas
Cari Berita

Iklan 970x90px

Dakwaan JPU Cacat Secara Yuridis formil, Terdakwa Eks Walikota Bima Berpotensi Bebas

Selasa, 07 Mei 2024

 

Eks Walikota Bima Berpotensi Bebas di Pengadilan Tipikor Mataram 

Oleh : Syarifuddin Lakuy,SH.,MH


Bima, Peloporntb.com - Dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi system hukum acara yang dipedomani masih menggunakan KUHAP sebagaimana ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bahwa, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Hingga saat ini, hukum acara pidana yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada prinsipnya hukum acara yang berlaku untuk perkara tindak pidana korupsi adalah KUHAP sebagaimana juga berlaku untuk perkara pidana lainnya. 


Mencermati Konstruksi Dakwaan terhadap diri terdakwa MUHAMMAD LUTFI adalah Dakwaan Kumulatif dalam kelajiman bentuk Dakwaan Kumulatif yaitu:Dimana untuk Surat Dakwaan ini, didakwakan dengan beberapa Tindak Pidana sekaligus, ke semua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu. Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut pembebasan dari dakwaan tersebut. Dakwaan ini dipergunakan dalam hal Terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masing-masing merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri. Sebagaimana Dakwaan JPU kepada terdakwa di bawah ini:


DAKWAAN KESATU: Perbuatan Terdakwa tersebut merupakan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf i Jo Pasal 15 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.  


DAN DAKWAAN KEDUA: Perbuatan Terdakwa tersebut merupakan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 B jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.


Akan tetapi memperhatikan dan mencermati tuntutan (Requisatoir) Penuntut Umum pada diri terdakwa MUHAMMAD LUTFI Penuntut Umum  KPK tidak secara tegas menyatakan Dakwaan Mana yang dinyatakan terbukti dari Dua Dakwaan tersebut berdasarkan Fakta persidangan. Hal ini menurut pandangan saya dalam pembuktian unsur dakwaan oleh Penuntut Umum kemungkinan tidak cukup pembuktian untuk membuktikan unsur Pasal Dakwaan. Sedangkan dari sisi Formil Dakwaan dapat dikatakan dakwaan JPU secara formil Obscuur karena pada dakwaan Kedua di Juntokan Pasal 55 juga Pasal 65 AYAT 1, akan tetapi faktanya dalam perkara aquo terdakwa tunggal hanya Terdakwa MUHAMMAD LUTFI hal ini dapat saja terdakwa dibebaskan dari salah satu dakwaan apakah nanti Putusan Majelis Hakim Membebaskan dari Dakwaan Kesatu atau Membebaskan dari Dakwaan Kedua atau dapat bebas murni (VRIJSPRAAK) jika semua unsur dakwaan baik kesatu dan kedua dinyatakan tidak terbukti,.


Menurut pandangan saya Kekaburan (Obscuur) dakwaan Penuntut Umum dalam Perkaran In Kasus Tipikor terdakwa MUHAMMAD LUTFI eks Walikota Bima pada dakwaan kesatu tidak di Juntokan dengan Pasal 65 ayat 1 KUHP dan dakwaann Kedua di Junto kan dengan Pasal 65 aya (1) KUHP sebagai Perbuatan berlanjut. Lebih lanjut mengutip pendapat  Andi Hamzah yaitu: Untuk penerapan Pasal 64 KUHP atau Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagai berikut: Penerapan Pasal 64 KUHP: Menurut pendapat Andi Hamzah dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, hal 536 yang disarikan dari Memorie Van Toelichting Pasal 64 KUHP, yaitu:“Dalam hal perbuatan berlanjut, pertama-tama harus ada satu keputusan kehendak. Perbuatan itu mempunyai jenis yang sama. Putusan hakim menunjang arahan ini dengan mengatakan:1. Adanya kesatuan kehendak; 2.Perbuatan-perbuatan itu sejenis; dan 3. Faktor hubungan waktu (jarak tidak terlalu lama).Penerapan Pasal 65 ayat (1) KUHP:Dalam hal ini, kita dapat memperhatikan Arrest Hoge Raad No. 8255, Juni 1905, yang pada intinya mengandung kaidah hukum yang menyatakan bahwa dalam hal adanya tindak pidana yang antara satu dengan lainnya dipisahkan dalam ‘jarak waktu lebih dari empat hari’ adalah tidak tunduk pada perbuatan berlanjut, sebagaimana diatur dalam Pasal 64 KUHP, melainkan harus dianggap sebagai perbarengan beberapa tindak pidana. Pasal 65 ayat (1) menyatakan: Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana. Akan tetapi pada dakwaan Kedua di Juntokan dengan Pasal 55 KUHP namu dalam perkara aquo tidak ada terdakwa lainnya. Sehingga menurut Pandangan saya Dakwaan Penuntut Umum mengandung cacat secara yuridis formil.


Jika dambil contoh dari dakwaan dalam Perkara Tipikor mantan walikota Madiun Bambang Irianto  dimana JPU KPK pertama kali menggunakan Pasal 12 huruf( i )  untuk kasus Gratifikasi  dan menggunakan Dakwaan berlapis  antara lain juga digunakan Pasal Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Sehingga sangat terang jelas dalam penggunaan Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Akan tetapi In kasus a quo Terdakwa MUHAMMAD LUTFI oleh JPU KPK tidak menggunakan dakwaan TPPU. 


Berdasarkan system hukum Acara Pidana  hakim dalam memutuskan Perkara Pidana tidak terikat dengan Tunutan Penuntut Umum (Requisatoir)  karena tidak ada satu pasal pun dalam KUHAP yang mengharuskan hakim memutus pemidanaan sesuai dengan tuntutan JPU. Hakim memiliki kebebasan dalam menentukan pemidanaan sesuai dengan pertimbangan hukum dan nuraninya, bahkan bisa lebih tinggi dari apa yang dituntut. M. Yahya Harahap menjelaskan, “Hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana (strafmaat) yang akan dikenakan kepada terdakwa adalah bebas.” Karena Undang-undang memberikan kebebasan kepada Majelis Hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman minimum dan maksimum yang diancamkan dalam pasal pidana bersangkutan. Putusan pemidanaan (veroordeling) dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP  Hakim  memutus berdasarkan Surat Dakwaan  sesuai terbukti tidaknya unsur dakwaan yang di dakwakan oleh Penuntut Umum pada terdakwa.


Penulis adalah Pemerhati Hukum/Akademisi Hukum Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Darusalam Bermi NTB juga Praktisi Hukum Syarifuddin Lakuy,SH.,MH (sering juga menangani kasus Tipikor di Pengadilan Negeri Tipikor Mataram).